IBX5A43DB1EB40C4

Entri yang Diunggulkan

Politeknik APP Jakarta

Politeknik APP Jakarta (dahulu Akademi Pimpinan Perusahaan Jakarta ) adalah pendidikan tinggi yang berada dalam pengelolaan Pusat Pen...

Selasa, 31 Oktober 2017

Definisi Ilmu Politik Dan Sejarah Perkembangann


Sebelum mendefinisikan apa itu ilmu politik, maka perlu diketahui lebih dulu apa itu politik. Secara etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani ”polis” yang berarti kota yang berstatus negara. Secara umum istilah politik dapat diartikan berbagai macam kegiatan dalam suatu negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.

Menurut Miriam Budiardjo dalam buku ”Dasar-dasar Ilmu Politik”, ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari tentang perpolitikan. Politik diartikan sebagai usaha-usaha untuk mencapai kehidupan yang baik. Orang Yunani seperti Plato dan Aristoteles menyebutnya sebagai en dam onia atau the good life(kehidupan yang baik).
Menurut Goodin dalam buku “A New Handbook of Political Science”, politik dapat diartikan sebagai penggunaan kekuasaan social secara paksa. Jadi, ilmu politik dapat diartikan sebagai sifat dan sumber paksaan itu serta cara menggunakan kekuasaan social dengan paksaan tersebut.

Beberapa definisi berbeda juga diberikan oleh para ahli , misalnya:
• Menurut Bluntschli, Garner dan Frank Goodnow menyatakan bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari lingkungan kenegaraan.
• Menurut Seely dan Stephen Leacock, ilmu politik merupakan ilmu yang serasi dalam menangani pemerintahan.
• Dilain pihak pemikir Prancis seperti Paul Janet menyikapi ilmu politik sebagai ilmu yang mengatur perkembangan Negara begitu juga prinsip- prinsip pemerintahan, Pendapat ini didukung juga oleh R.N. Gilchrist.
Ilmu politik secara teoritis terbagi kepada dua yaitu :
• Valuational artinya ilmu politik berdasarkan moral dan norma politik. Teori valuational ini terdiri dari filsafat politik, ideologi dan politik sistematis.
• Non valuational artinya ilmu politik hanya sekedar mendeskripsikan dan mengkomparasikan satu peristiwa dengan peristiwa lain tanpa mengaitkannya dengan moral atau norma.

Perkembangan Ilmu Politik
Ilmu politik adalah salah satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu yang ada. Sejak orang mulai hidup bersama, masalah tentang pengaturan dan pengawasan dimulai. Sejak itu para pemikir politik mulai membahas masalah-masalah yang menyangkut batasan penerapan kekuasaan, hubungan antara yang memerintah serta yang diperintah, serta sistem apa yang paling baik menjamin adanya pemenuhan kebutuhan tentang pengaturan dan pengawasan.

Ilmu politik diawali dengan baik pada masa Yunani Kuno, membuat peningkatan pada masa Romawi, tidak terlalu berkembang di Zaman Pertengahan, sedikit berkembang pada Zaman Renaissance dan Penerangan, membuat beberapa perkembangan substansial pada abad 19, dan kemudian berkembang sangat pesat pada abad 20 karena ilmu politik mendapatkan karakteristik tersendiri.

Ilmu politik sebagai pemikiran mengenai Negara sudah dimulai pada tahun 450 S.M. seperti dalam karya Herodotus, Plato, Aristoteles, dan lainnya. Di beberapa pusat kebudayaan Asia seperti India dan Cina, telah terkumpul beberapa karya tulis bermutu. Tulisan-tulisan dari India terkumpul dalam kesusasteraan Dharmasatra dan Arthasastra, berasal kira-kira dari tahun 500 S.M. Di antara filsuf Cina terkenal, ada Konfusius, Mencius, dan Shan Yang(±350 S.M.).
Di Indonesia sendiri ada beberapa karya tulis tentang kenegaraan, misalnya Negarakertagama sekitar abad 13 dan Babad Tanah Jawi. Kesusasteraan di Negara-negara Asia mulai mengalami kemunduran karena terdesak oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh Negara-negara penjajah dari Barat.

Di Negara-negara benua Eropa sendiri bahasan mengenai politik pada abad ke-18 dan ke-19 banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena itu ilmu politik hanya berfokus pada negara. Selain ilmu hukum, pengaruh ilmu sejarah dan filsafat pada ilmu politik masih terasa sampai perang Dunia II.

Di Amerika Serikat terjadi perkembangan berbeda, karena ada keinginan untuk membebaskan diri dari tekanan yuridis, dan lebih mendasarkan diri pada pengumpulan data empiris. Perkembangan selanjutnya bersamaan dengan perkembangan sosiologi dan psikologi, sehingga dua cabang ilmu tersebut sangat mempengaruhi ilmu politik. Perkembangan selanjutnya berjalan dengan cepat, dapat dilihat dengan didirikannya American Political Science Association pada 1904.

Perkembangan ilmu politik setelah Perang Dunia II berkembang lebih pesat, misalnya di Amsterdam, Belanda didirikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, walaupun penelitian tentang negara di Belanda masih didominasi oleh Fakultas Hukum. Di Indonesia sendiri didirikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, seperti di Universitas Riau. Perkembangan awal ilmu politik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena pendidikan tinggi ilmu hukum sangat maju pada saat itu.Sekarang, konsep-konsep ilmu politik yang baru sudah mulai diterima oleh masyarakat.

Di negara-negara Eropa Timur, pendekatan tradisional dari segi sejarah, filsafat, dan hukum masih berlaku hingga saat ini. Sesudah keruntuhan komunisme, ilmu politik berkembang pesat, bisa dilihat dengan ditambahnya pendekatan-pendekatan yang tengah berkembang di negara-negara barat pada pendekatan tradisional.

Perkembangan ilmu politik juga disebabkan oleh dorongan kuat beberapa badan internasional, seperti UNESCO. Karena adanya perbedaan dalam metodologi dan terminologi dalam ilmu politik, maka UNESCO pada tahun1948 melakukan survei mengenai ilmu politik di kira-kira 30 negara. Kemudian, proyek ini dibahas beberapa ahli di Prancis, dan menghasilkan buku Contemporary Political Science pada tahun 1948.
Selanjutnya UNESCO bersama International Political Science Association (IPSA) yang mencakup kira-kira ssepuluh negara, diantaranya negara Barat, di samping India, Meksiko, dan Polandia. Pada tahun 1952 hasil penelitian ini dibahas di suatu konferensi di Cambridge, Inggris dan hasilnya disusun oleh W. A. Robson dari London School of Economics and Political Science dalam buku The University Teaching of Political Science. Buku ini diterbitkan oleh UNESCO untuk pengajaran beberapa ilmu sosial(termasuk ekonomi, antropologi budaya, dan kriminologi) di perguruan tinggi. Kedua karya ini ditujukan untuk membina perkembangan ilmu politik dan mempertemukan pandangan yang berbeda-beda.

Pada masa-masa berikutnya ilmu-ilmu sosial banyak memanfaatkan penemuan-penemuan dari antropologi, sosiologi, psikologi, dan ekonomi, dan dengan demikian ilmu politik dapat meningkatkan mutunya dengan banyak mengambil model dari cabang ilmu sosial lainnya. Berkat hal ini, wajah ilmu politik telah banyak berubah dan ilmu politik menjadi ilmu yang penting dipelajari untuk mengerti tentang politik.

Konsep dasar Hubungan International

Power atau Kekuatan, adalah dasar dari segala kajian dalam ilmu HI. Dalam konteks ilmu HI, Power adalah sesuatu yang dimiliki aktor A untuk mempengaruhi aktor B agar mengikuti segala yang diinginkan oleh aktor A. Disebutkan aktor karena power dalam konteks HI bukanlah milik negara saja dan aktor-aktor HI sangatlah beragam, seperti negara, lembaga, dan individu. Satu hal yang jelas, hubungan aktor A dan B haruslah melintasi batas-batas negara untuk dapat dianggap sebagai isu internasional. 

Dalam ilmu HI, power dibagi menjadi dua, yaitu soft power dan hard power.
  • Soft power adalah suatu tindakan yang tidak melibatkan kekerasan untuk mempengaruhi suatu actor, misalnya diplomasi atau penyebaran kebudayaan. 
  • Hard power adalah kebalikan dari soft power, contohnya adalah serangan militer. 
  • Soft power biasanya dilakukan ketika suatu masalah yang dihadapi masih dapat ditolerir sehingga dapat diselesaikan melalui diplomasi. 
  • Hard power baru akan dilakukan ketika soft power tidak mampu menyelesaikan masalah. 
Setiap negara pada dasarnya akan selalu berjuang untuk mendapatkan power sebanyak-banyaknya, namun tidak setiap negara sanggup memperbesar powernya Karena harus berhadapan dengan suatu masalah tertentu yang menghambat mereka. Negara yang masih baru terlahir atau yang baru mengalami kekalahan perang tidak mungkin akan melakukan ekspansi power, melainkan akan menjaga status quo atau mempertahankan power mereka. Sementara bagi negara yang sudah memiliki power yang cukup akan memamerkannya ke negara lain melalui tindakan prestise.

Ada tiga unsur yang selalu melekat pada power, yaitu force, influence, dan authority. 
  • Force adalah tindakan yang memaksa biasanya dilakukan dengan ultimatum dan serangan militer. 
  • Influence adalah tindakan semacam soft power yang bertujuan mempengaruhi suatu aktor secara halus, bisa melalui diplomasi atau bantuan dana. 
  • Authority adalah sebuah konsep dimana negara menyerahkan dan mempercayakan sebagian Powernya kepada sebuah lembaga internasional untuk menjamin terciptanya keamanan dan stabilitas internasional
National Power atau Kekuatan Nasional adalah kapabilitas suatu negara yang dapat menentukan tingkatan power mereka dibandingka negara lain. Untuk mengukur power suatu negara dapat dilihat dari dua hal yaitu: tangible power dan intangible power. 
  1. Tangible power adalah kapabilitas negara yang dapat diukur kuantitasnya, seperti luas wilayah, populasi penduduk, sumber daya alam, dll. 
  2. Intangible power adalah kapabilitas negara yang hanya dapat diukur kualitasnya, popularitas pemimpin, tingkat pendidikan, risiko bencana alam, dll. 
Melalui dua hal tersebut tingkatan negara dapat dibedakan menjadi negara low power, middle power, dan hard power. Tingkatan ini sangat penting untuk menentukan posisi dan potensi suatu negara dalam dunia internasional. 

National Interest (Kepentingan Nasional) adalah sebuah tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai negara. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, tujuan paling dasar dari negara adalah memiliki Power sebesar-besarnya. Walaupun tujuan itu dibalut dengan hal-hal manis seperti kesetaraan, kebebasan, kedamaian, tetap pada akhirnya Power-lah yang akan dikejar oleh negara. National interest dibagi menjadi dua, yaitu: 
  1. National interest vital yang pasti akan diperjuangkan hingga suatu negara rela berperang untuk memperjuangkannya, misal: Kedaulatan wilayahnya
  2. National interest secondary yang untuk memperjuangkannya suatu negara masih akan diselesaikan melalui diplomasi, misal: Menjadi anggota Dewan Keamanan PBB 
Foreign Policy (Politik Luar Negeri) adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara dalam rangka mencapai National Interest-nya. Foreign policy baru dapat dibentuk setelah national interest dipertimbangkan. Membalik proses ini akan berakibat buruk, yaitu foreign policy yang diambil menjadi tidak kredibel dan tidak akan dilegitimasi pihak manapun. Untuk membuat suatu foreign policy harus dapat melihat dari tiga sumber, yaitu: sumber sistemik, sumber masyarakat, dan, sumber idiosinkretik. 
  1. Sumber sistemik adalah pertimbangan yang dibuat berdasar situasi eksternal negara. 
  2. Sumber masyarakat adalah pertimbangan yang dibuat berdasarkan situasi internal negara. 
  3. Sumber idiosinkretik adalah pertimbangan subyektif yang dilakukan berdasarkan kepribadian si pembuat foreign policy.
dua konsep yang berkaitan karena national interest akan menentukan foreign policy yang harus diambil suatu negara, sementara foreign policy akan membantu negara mewujudkan national interest-nya. 

Diplomacy adalah cara suatu negara untuk mewujudkan National Interest-nya atau meraih Power sebesar-besarnya melalui jalan damai atau perundingan. Dengan kata lain, diplomasi adalah salah satu instrumen untuk melaksanakan Foreign Policy suatu negara. Di masa kini, diplomasi adalah pilihan paling rasional yang dapat diambil oleh negara. Hal ini disebabkan kemungkinan perang sudah sangat kecil dan memikirkan opsi perang pun rasanya sudah sangat sulit. Diplomasi pun dipilih sebagai instrumen yang paling enak untuk melakukan PLN. Namun yang banyak orang tidak ketahui adalah diplomasi terkadang hanyalah menjadi instrumen untuk menunda perang. Tidak jarang ditemui kasus seperti Korut yang terus menerus melobby AS hingga mereka tidak sadar bahwa senjata nuklit Korut sudah selesai ditanamkan.

Satu hal yang paling menentukan keberhasilan diplomasi adalah obyek yang dirundingkannya. Tidak selalu obyek perundingan membuat masing-masing negara berada di posisi tawar yang sama. Terkadang sebuah obyek diplomasi akan menempatkan salah satu negara di posisi tawar yang tinggi sementara negara lain sebaliknya. Contohnya adalah kasus Sipadan Ligitan dimana Indonesia jelas-jelas belum pernah mendaftarkan kepulauan tersebut di lembaga internasional, berbeda dengan Malaysia. Karena itu penting bagi sebuah negara untuk mengetahui dimana posisi tawarnya dalam melakukan diplomasi dan jika negara sudah sadar bahwa posisi tawarnya sama sekali tidak menguntungkan maka ia harus menentukan opsi yang lain. Dalam hal ini, posisi tawar suatu negara dapat ditentukan dengan menganalisis National Powernya.

Faktor kedua penentu keberhasilan diplomasi tentu adalah pengguna instrumen ini sendiri alias sang diplomat. Diplomat yang baik perlu memiliki kemampuan artikulasi, bahasa, dan kemampuan berpikir cepat. Selain itu, waktu dan tempat perundingan pun juga bisa berpengaruh terhadap keberhasilan diplomasi.