Hari ini sudah banyak makhluk yang dikatakan manusia
telah berjalan di muka bumi, mereka pun kemudian berkumpul membentuk kelompok
atau komunitas, dari kelompok atau komunitas tersebut membentuk peradaban dan
menjadi manusia yang beradab. Hal ini terjadi karena manusia diberikan
kelebihan dari makhluk yang lainnya yaitu akal. Oleh karena itu, manusia
menggunakan akalnya untuk berpikir dan menciptakan sesuatu yang akan
membantunya dalam menjalani kehidupan di muka bumi.
Peradaban manusia terdahulu tercatat dalam sejarah sudah
membuat banyak ilmu pengetahuan. Pada hakikatnya ilmu pengetahuan adalah untuk
membantu manusia menjawab fenomena alam, sehingga manusia dapat bertahan hidup
di alam ini. Kita ketahui saat ini begitu banyak ilmu pengetahuan yang sudah
kita kenal. Jika kita telisik lebih dalam mengenai ilmu pengetahuan, maka kita
mengetahui ada ilmu yang melandasi berdirinya ilmu-ilmu lainnya. Ilmu yang
melandasi itu adalah bahasa, matematika, logika, dan statistika.
Bahasa
menjadi
landasan berdirinya ilmu lain, karena ilmu selalu mendeskripsikannya dengan menggunakan bahasa tertulis dan para ilmuwan
dalam mempresentasikan ilmu pengetahuan menggunakan bahasa yang disebut bahasa
verbal. Bahasa tulis bukan hanya digunakan dalam penyusunan kata-kata tetapi
dalam beberapa ilmu mendeskripsikannya dengan bahasa matematika yang merupakan
bahasa simbol. Penggunaan bahasa simbol terkadang digunakan pada ilmu-ilmu
alam. Hal ini semua ditinjau dari sifat ilmu tersendiri yaitu tersurat dan
jelas.
Logika,
merupakan landasan pembangun sebuah ilmu karena logika merupakan penyusunan
penalaran dari ilmu tersebut. Manusia diberikan akalnya untuk menalar objek
ilmu, karena itu logika dibutuhkan untuk membentuk jalan berpikir yang dapat
ditangkap oleh orang lain dengan masuk akal. Logika juga merupakan penentu
untuk menilai benar atau salah suatu objek. Ada satu contoh yang dapat
diberikan untuk penalaran yang benar seperti, semua jenis besi dipanaskan akan melebur,seng adalah besi, uang koin adalah besi, jadi seng dan uang koin
dipanaskan, maka akan melebur. Contoh lain untuk menjelaskan penalaran yang
salah seperti, Michel sedang minum air,
maka Michel adalah manusia. Hal ini salah karena penarikan kesimpulannya terlalu
cepat memutuskan bahwa Michel adalah
manusia, terdapat kemungkinan lain bahwa michel adalah seekor hewan. Oleh
karena itu, logika menjadi dasar pembentuk ilmu karena didasari dari sifat ilmu
yaitu logis.
Matematika,
menjadi
salah satu dasar pembangun ilmu karena dalam beberapa ilmu alam untuk
menyampaikan kebenarannya menggunakan bahasa dan logika dari matematika.
Matematika menjadi bahasa karena keindahan dan kesederhanaannya dalam
menjelaskan kebenaran dari objek ilmu. Kali ini pasti akan timbul pertanyaan,
kenapa matematika menjadi logika dalam beberapa ilmu? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut kita kutip pernyataan J.S. Suriasumantri bahwa, ”seperti juga dengan
semua faktor yang terlibat dalam kegiatan keilmuan, maka logika secara
terus-menurus disempurnakan. Lambang-lambang dipergunakan dalam logika simbolis,
dan logika makin lama makin bersifat matematis”[1]. Untuk memperkuat jawaban
pertanyaan tersebut baiklah kita kutip pernyataan Bertrand Russell bahwa
“Mereka berbeda seperti anak kecil dan orang dewasa : logika adalah masa kecil
dari matematika dan matematika adalah masa dewasa dari logika”[2]. Kita juga akan menengok beberapa
contoh ilmu yang menggunakan matematika sebagai bentuk penalarannya yaitu pada
ilmu fisika dan kimia.
Statistika,
juga
termasuk dalam salah satu komponen pembangun ilmu karena ilmu dalam
pengungkapan kebenarannya bersifat peluang (probabilistik).
Pada pengujian ilmu dalam realitas, terdapat kemungkinan akan menemukan lebih
dari satu fakta. Oleh karena itu, dibutuhkan penarikan kesimpulan dari beberapa
fakta tersebut, dengan cara berpikir induktif dan hal itu dimuat dalam jalan
berpikir statistika. Untuk mengetahui bagaimana cara berpikir induktif, baiklah
akan diberikan sebuah contoh, kuda
melahirkan, kucing melahirkan, dan anjing melahirkan, setiap yang melahirkan
termasuk golongan mamalia, jadi kuda, kucing, dan anjing termasuk golongan
mamalia.
Pada
akhirnya ilmu-ilmu yang ada sekarang ini dibangun dari dasar ilmu bahasa,
matematika, logika, dan statistika. Hal ini bukan berarti setiap ilmu, mutlak
dibangun dari keempat ilmu tersebut tetapi setiap ilmu dibangun dari beberapa
dasar ilmu tersebut. Setelah kita mengetahui terdapat ilmu dasar dalam membangun
sebuah ilmu baru, tentunya kita tidak boleh menyelidiki sampai di sini.
Terdapat hal-hal yang perlu kita ketahui lebih lanjut dari ilmu. Pertanyaan
yang kita ungkapkan adalah apa sebenarnya yang menjadi latarbelakang
terbentuknya ilmu? Teryata beberapa literatur mengungkap bahwa adanya tiga
masalah pokok yang menjadi latarbelakang dalam pembentukan ilmu.
Tiga
masalah pokok tersebut yaitu, Apakah yang ingin kita ketahui? Bagaimanakah cara
kita memperoleh pengetahuan? Apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita?
Pertanyaan ini selalu menjadi latar belakang terbentuknya ilmu-ilmu. Bahkan
kita dapat mempercayai bahwa, setiap bentuk buah pemikiran manusia dapat
dikembalikan pada dasar-dasar ontologi, epistemologi, dan axiologi dari
pemikiran yang bersangkutan. Pada artikel ini akan diungkapkan ontologi,
epistemologi, dan axiologi yang menjadi latarbelakang sebuah ilmu.
Ontologi, merupakan penjelasan ilmu untuk mengetahui
sampai dengan hakikatnya. Penjelasan ini selalu mengungkap pertanyaan mengenai
Apakah yang ingin diketahui? Atau apakah yang menjadi bidang telaah ilmu? Untuk
mengetahui yang menjadi objek telaah ilmu yaitu merupakan dunia empiris.
Penjelasan mengenai dunia empiris sebagai objek telaah ilmu adalah keterikatan
suatu benda terhadap ruang dan waktu. Pada ilmu yang mempelajari sifat manusia
tentunya diamati dengan cara melihat tindakan dari manusia sehari-harinya,
sehingga diperoleh data mengenai sifat manusia tersebut. Pada penalaahan
objeknya, manusia dibantu dengan panca indera dan alat yang dikembangkannya
untuk menelaah objek ilmu.
Secara lebih terperinci
ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris :
1.
Objek-objek tertentu memiliki keserupaan
satu sama lain.
Keserupaan
tersebut umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Berdasarkan
ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa objek yang serupa ke dalam satu
golongan. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap
objek-objek yang ditelaahnya dan taxonomi merupakan cabang keilmuan yang
mula-mula sekali dikembangkan.
2.
Anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami
perubahan dalam jangka waktu tertentu.
Kegiatan
keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan
tertentu. Objek keilmuan selalu terikat ruang dan waktu maka akan mengalami
perubahan pada waktu tertentu. Kegiatan keilmuan jelas tidak mungkin dilakukan
bila objek selalu berubah-ubah tiap waktu. Hal itu disebabkan keterbatasan
panca indera manusia. Oleh karena itu, tidak mungkin kita menuntut adanya
kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak
berubah dalam jangka waktu tertentu.
3.
Determinisme.
Kita menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu
kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang
bersifat tetap dengan urut-urutan kejadian yang sama. Determinisme dalam pengertian ilmu di sini
mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik).
Statistika merupakan metode yang menyatakan hubungan probabilistik antara
gejala-gejala dalam penelaahan keilmuan. Sesuai dengan peranannya dala kegiatan
ilmu, maka dasar statistika adalah teori peluang. Pada determinisme ini yang
dimaksud adalah bahwa kejadian yang satu berpotensi mempengaruhi kejadian yang
lain.
Epistemologi,
merupakan segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh
pengetahuan. proses dalam keilmuan menggunakan suatu cara yang disebut metode
keilmuan. Metode keilmuan ini merupakan perpaduan dari dua pola keilmuan yang
ada di masa terdahulu untuk memperoleh pengetahuan yang disebut benar. Pola
yang pertama adalah memakai metode kaum rasional yang selalu mengedepankan ide daripada
menggunakan panca indera. Tetapi pada perjalanannya kaum rasional mengalai
kesulitan untuk melakukan konsensus mengenai suatu yang benar. Oleh karena itu,
setiap individu memiliki kebenarannya masing-masing dan hal ini sulit dijawab
kaum rasional.
Pola
yang kedua adalah memakai metode kaum empiris yang selalu mengedepankan
penglihatan objek menggunakan pancaindera. Pancaindera menjadi hal utama bagi
kaum empiris untuk mengungkap kebenaran fakta dan menapikkan dunia ide. Penggunaan
pola ini harus disadari bahwa panca indera kita terbatas dalam menelaah objek. Salah
satu contoh, untuk melihat apa yang berada di luar angkasa ataupun benda yang
sangat kecil seperti mikroba ternyata mata manusia tidak dapat melihatnya. Oleh
karena itu, kaum empiris menyadari bahwa pancaindera memiliki keterbatasan
dalam mengungkap sesuatu.
Disadari bahwa keduanya mempunyai
kekurangan dalam menyatakan kebenaran, maka pola kedua kaum tersebut dipadukan
sehingga menciptakan metode keilmuan. Pada metode ini secara sederhana memiliki
sistematika dala melakukan penalaahan objek yaitu, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, deduksi dari hipotesis, dan
pengujian. Berikut akan diberikan sebuah skema kegiatan keilmuan sebagai
sebuah proses.
Kegiatan Keilmuan Sebagai
Sebuah Proses
Axiologi,
selalu mengungkapkan pertanyaan Apakah kegunaan ilmu bagi kita? Mari kita
menjawab pertanyaan ilmu tersebut dengan menyadari, bahwa ilmu telah banyak
mengubah kehidupan. Mulai dari memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan
berbagai wajah kehidupan yang duka menjadi beberapa fakta dari kegunaan ilmu.
Membangun peradaban manusia juga disebabkan penggunaan ilmu. Kita harus ketahui
bahwa ilmu bersifat netral, ilmu memiliki keterpihakan dalam penggunaannya
karena manusia telah menggunakannya. Ilmu akan menjadi berbahaya jika tidak
digunakan untuk kebaikan begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, seorang
ilmuwan haruslah bersikap netral dan mempunyai landasan moral, karena tanpa
landasan moral yang kuat seorang ilmuwan akan lebih menyerupai seorang tokoh
seperti frankenstein yang menciptakan momok kemanusiaan yang merupakan kutuk.
Kita telah sampai pada akhir
penulisan artikel ini yang mencoba menjelaskan beberapa ilmu dasar dalam
membangun sebuah ilmu baru dan penjelasan masalah-masalah yang selalu muncul
untuk membuat ilmu murni atau terapan. Masih banyak penjelasan yang belum
diungkap di artikel ini, jadi banyak sisi-sisi lain dari ilmu pengetahuan yang
harus diketahui. Selayaknya manusia adalah selalu berpikir untuk mengkritisi
sesuatu objek dan memberikan saran, sehingga kekurangan yang terdapat dalam
setiap pengetahuan dan ilmu yang telah sampai kepadanya dapat diperbaiki dan
akan menjadi benar pada waktunya. Semoga pembuatan artikel ini dapat bermanfaat
bagi kita sesama manusia.
Referensi :
Suriasumantri,
J.S. Ilmu dalam perspektif. 2009.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
[1] Jujun S.
Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif
(Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009), p. 22.
[2] Bertrand
Russell, On the Pilosophy of Science
(New York, The Bobbs-Merrill,1965), p.13.