Wajah yang Kita Cuci Setiap Pagi
Ada ritual yang kita lakukan setiap hari tanpa pernah mempertanyakannya: mencuci wajah.
Kita melakukannya bukan hanya untuk menghilangkan debu atau keringat, tapi untuk memastikan topeng yang akan kita pakai hari itu menempel dengan sempurna.
Di cermin, kita melihat pantulan diri yang akan dipamerkan pada dunia. Wajah yang terlihat ramah, suci, dan terhormat. Wajah yang bisa dipercaya. Wajah yang akan tersenyum pada orang lain sambil menutupi borok di dalam hati.
Kita tahu, begitu keluar rumah, semua orang sedang melakukan hal yang sama.
Topeng ini bukan sekadar kosmetik. Ia adalah bahasa tubuh, nada suara, pilihan kata, bahkan cara kita tertawa di hadapan orang lain. Kita belajar sejak kecil bagaimana caranya menjadi “terlihat baik.” Kita diajarkan untuk menyembunyikan amarah, rasa iri, dendam, atau niat busuk—bukan untuk menghilangkannya, hanya untuk memastikan orang lain tidak melihatnya.
Dan seperti semua kebiasaan, lama-lama kita lupa kalau yang kita tunjukkan bukan diri kita yang sebenarnya. Kita mulai percaya bahwa topeng itu adalah wajah asli kita.
---
Aku pernah duduk di sebuah rapat bersama orang-orang yang dielu-elukan publik. Para tokoh yang kerap tampil di televisi, berbicara tentang moral, keadilan, dan kemanusiaan. Mereka berpidato dengan bahasa indah, membuat penonton percaya bahwa mereka adalah penyelamat bangsa. Tapi di meja rapat itu, aku melihat mereka tawar-menawar soal komisi, membicarakan siapa yang harus disingkirkan, dan menghitung untung rugi dari setiap keputusan yang katanya “untuk rakyat.”
Aku pulang hari itu dengan kepala penuh suara: “Ternyata mereka semua sama saja.” Tapi beberapa minggu kemudian, aku sadar, aku pun tidak jauh berbeda.
Aku mungkin tidak duduk di kursi kekuasaan, tapi aku juga pernah memilih diam ketika kebusukan terjadi di hadapanku. Aku juga pernah memuji seseorang di depan wajahnya, lalu menggunjingkannya di belakang. Aku juga pernah tersenyum pada orang yang tidak aku sukai, hanya demi menjaga hubungan baik.
Mungkin kita semua memang sama saja—beda panggung, beda peran, tapi topengnya serupa.
---
Topeng sosial ini tidak hanya dipakai oleh politisi, pejabat, atau tokoh agama. Ia juga menempel di wajah orang biasa seperti kita.
Seorang tetangga yang setiap hari memberi salam hangat, tapi mengeluh tentang kita di grup keluarga. Seorang teman kerja yang selalu menawarkan bantuan, tapi diam-diam berharap kita gagal. Seorang pemuka agama yang berceramah tentang kesucian, tapi memelihara rahasia kelam di dalam rumahnya.
Kemunafikan bukan lagi aib di negeri ini. Ia justru jadi mata uang sosial yang paling laku.
Siapa yang paling pandai berpura-pura, dialah yang paling mudah naik. Kita mengukur kesuksesan dari seberapa mulus topeng seseorang menutupi wajah aslinya.
Dan yang ironis, kita semua tahu topeng itu ada. Kita tahu orang-orang di sekitar kita memakainya. Tapi kita pura-pura tidak tahu, karena kita sendiri juga sedang memakainya.
---
Dulu, aku berpikir masalah bangsa ini hanya ada di pucuknya: para pejabat, orang berkuasa, dan para pemimpin palsu. Tapi semakin aku melihat ke bawah, semakin aku sadar, akar masalahnya jauh lebih dalam. Ia tumbuh di rumah-rumah kita, di meja makan kita, di cara kita mendidik anak, di cara kita mencari nafkah, bahkan di cara kita bersosialisasi.
Kita mengajari anak untuk “selalu berkata jujur,” tapi kita juga mengajari mereka cara berbohong yang aman.
Kita bilang “jangan korupsi,” tapi kita menyuap guru les untuk memberi nilai tambahan.
Kita berkata “jangan sakiti orang lain,” tapi kita mengajarkan mereka untuk menyerang orang yang berbeda pandangan.
Setiap pagi, kita mencuci wajah, lalu menempelkan topeng. Dan dengan penuh percaya diri, kita melangkah keluar seolah tidak ada yang salah dengan itu.
---
Aku ingat seorang teman berkata, “Kalau mau hidup di negeri ini, jangan terlalu polos. Harus pintar bawa diri.”
Awalnya, aku mengartikan itu sebagai nasihat untuk berhati-hati. Tapi lama-lama, aku sadar, itu adalah kode untuk berkata: “Jangan terlalu jujur. Sesuaikan topengmu dengan situasi.”
Dan begitulah kita bertahan. Kita tidak pernah benar-benar saling percaya, tapi kita juga tidak berani membongkar topeng orang lain, karena kita takut topeng kita dibongkar balik. Kita menciptakan kesepakatan tidak tertulis: “Aku tidak akan buka aibmu, kalau kamu juga tidak buka aibku.”
Kita memanggil itu “tenggang rasa.” Padahal sebenarnya, itu adalah konspirasi besar untuk menjaga kebusukan tetap rapi.
---
Yang lebih menyedihkan, topeng ini tidak hanya menipu orang lain. Lama-lama, ia juga menipu kita sendiri.
Kita mulai percaya bahwa kita memang orang baik, hanya karena semua orang melihat kita sebagai orang baik. Kita lupa memeriksa isi hati kita yang sebenarnya. Kita lupa bertanya: “Kalau aku sendirian, tanpa ada yang melihat, siapa aku sebenarnya?”
Dan ketika suatu hari topeng itu retak—karena sebuah skandal, kegagalan, atau kebocoran rahasia—kita tidak tahu lagi bagaimana caranya hidup tanpa topeng. Kita panik, kita marah, kita mencari kambing hitam. Kita akan melakukan apa saja untuk menempelkan topeng itu kembali, bahkan jika harus menjatuhkan orang lain.
---
Masalahnya, selama topeng ini terus kita pelihara, luka bangsa ini tidak akan pernah sembuh. Bagaimana mungkin kita berharap punya pemimpin yang jujur, jika kita sendiri menganggap kejujuran sebagai kelemahan? Bagaimana mungkin kita berharap hidup di negeri yang bersih, jika kita sendiri bangga menjadi bagian dari permainan kotor?
Kita bisa menyalahkan siapa saja: pemerintah, partai politik, sistem hukum, bahkan sejarah. Tapi pada akhirnya, setiap pagi, kita tetap berdiri di depan cermin, mencuci wajah, dan mengenakan topeng yang sama.
---
Kadang aku bertanya-tanya, apa yang akan terjadi jika suatu hari kita semua berhenti memakai topeng?
Mungkin akan kacau. Mungkin akan ada ledakan kebencian, pertengkaran, dan pengkhianatan yang tidak bisa lagi disembunyikan. Tapi mungkin, justru dari kekacauan itu, kita bisa mulai membangun sesuatu yang asli.
Karena negeri ini tidak akan pernah berubah jika semua orang terus berpura-pura.
Dan aku tidak tahu berapa lama lagi kita bisa bertahan hidup dengan wajah palsu yang kita cuci setiap pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar